Monday, June 19, 2006

Khalifah di Bumi?

Bukan bermaksud klarifikasi tulisan teman saya bahwa beberapa hari yang lalu saya ‘mengumpat’ lewat status YM saya. “We really don’t deserve this planet!!” Itu bunyinya. Beberapa hari sebelum status itu, saya ‘mengumpat’ juga dengan kalimat “Khalifah di bumi??” Saya hanya ingin berbagi kekesalan. Tentang bangsa saya, tentang ketidakberdayaan saya dalam mengatasi hal-hal yang akhirnya cuma jadi umpatan, dan tentang hal-hal mengenaskan yang saya temui dalam pekerjaan saya.

Saat saya mencantumkan status di YM saya, sebenarnya saya sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh supervisor saya. Saya diminta untuk mencari argumen-argumen ilmiah yang dapat diajukan sebagai penolakan rencana pemerintah untuk mengkonversi lahan seluas 1,8 juta herktar di perbatasan Kalimantan, Indonesia dengan Sarawak, Malaysia. Alasan pemerintah untuk tetap menjalankan rencana itu, yang saya tangkap hanya satu: menyejahterakan masyarakat yang tinggal di perbatasan.

Masyarakat yang tinggal di perbatasan memang sebagian besar (kalau tidak mau dikatakan seluruhnya) masyarakat miskin[i]; seperti umumnya kondisi masyarakat yang tinggal di pedalaman Indonesia. Pembangunan negeri ini, yang menghabiskan hutang dari negeri lain yang mungkin tidak akan pernah bisa terbayar sampai kiamat itu, tidak mampu menjamah daerah mereka. Jangankan yang berada di dalam maupun pinggiran hutan, ketika harus memperbaiki jalan Lintas Sumatera yang notabene berfungsi sebagai salah satu pembuluh nadi transportasi negara ini saja, pemerintah hanya berkomentar, “Akses untuk ke sana sulit. Perbaikan jalan sepanjang itu dalam waktu dekat adalah hal yang sangat tidak mungkin..”

Namun demikian, ketika pemerintah mencanangkan rencana pembukaan lahan sawit, dengan alasan ‘mulia’ itu, yang pertama terlintas dalam kepala saya adalah: “Astaghfirullah... habislah hutan kita!” Apalagi dengan pemberitaan-pemberitaan yang sempat marak (bagi yang memperhatikan) mengenai tidak beroperasinya perkebunan sawit yang dijanjikan setelah hutan dibuka dan seluruh kayunya dijual, entah ke mana.

Hutan habis berarti habitat ratusan jenis hewan dan tumbuhan lain ikut hilang dalam pembersihan hutan. Untuk kasus di perbatasan Kalimantan-Serawak ini, 143 jenis mamalia, 293 jenis burung, 27 jenis reptil dan 240 jenis ikan[ii], hanya di kawasan Kalimantan Barat, terancam hilang juga. Terlalu egois satu jenis makhluk bernama Homo sapiens dalam memenuhi keserakahannya.

Belum lagi kalau kasusnya berujung pada konflik antara hewan-hewan tersebut –umumnya jenis mamalia besar dan langka seperti harimau, gajah atau orangutan yang kelaparan sehingga mencari makan di sekitar permukiman- dengan masyarakat. Untuk kasus ini, biasanya masyarakat tidak punya pilihan lain selain mengusir, bahkan membunuh hewan tersebut karena mengancam keselamatan mereka.

Sekarang pertanyaannya: apakah dengan demikian masyarakat di perbatasan bisa sejahtera? Mungkin iya, kalau uang hasil penjualan kayu dari pembersihan lahan itu larinya ke masyarakat. Tapi sekali lagi, kayu-kayu itu dijual entah ke mana. Karena itu, uangnya juga larinya entah ke mana.

Atau.. mungkin masyarakat bisa sejahtera dengan beralih profesi dari memburu, mengumpulkan makanan serta meladang, menjadi buruh kebun sawit? Kalau dikatakan ya, mungkin pemerintah atau penentu kebijakan itu perlu belajar berhitung lagi mengenai berapa upah yang diterima oleh masing-masing buruh, dan berapa pengeluaran yang mereka perlukan untuk makan. Sebelum hutan ditebang habis, masyarakat masih bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka dari hutan atau ladang. Namun setelah hutan habis, dan lahan berladang mereka terpaksa harus berubah wujud juga menjadi kebun sawit, mereka harus bergantung pada mekanisme pasar yang semakin membuat mereka masuk dalam senarai masyarakat miskin. Sejahtera??

Tak perlu dijelaskan di sini jika setiap ketidakseimbangan dalam alam, sunnatullahnya akan mengarah pada bencana yang pada akhirnya akan menimpa manusia sendiri. Dan yang paling sengsara merasakan bencana akibat hilangnya hutan umumnya masyarakat yang tinggal di dekat hutan yang hilang itu. Sekali lagi, sejahtera??

Sekarang, saya harap ‘umpatan’ saya bisa diterima. Jangankan untuk jadi khalifah yang menjaga seluruh isi bumi. Untuk melindungi jenis kita sendiri pun ternyata kita tidak mampu. Yang saya pahami, status khalifah bukan hak; tapi kewajiban. Karena kalau benar jadi hak, “We really don’t deserve this planet!”


Wallahu a’lam bisshowab



[i] Cerita mengenai betapa miskin dan betapa tidak pedulinya pemerintah terhadap kemiskinan masyarakat yang tinggal di perbatasan dicentang-perenangkan dengan sangat lugas oleh Kompas dalam edisi istimewa 60 tahun Indonesia merdeka; 16 Agustus 2005.

[ii] Jeanes, K., E. Meijaard. 2000. Danau Sentarum’s Wildlife Part 1. Biodiversity Value and Global Importance of Danau Sentarum’s Wildlife. Borneo Research Bulletin Vol 31:150-229

Friday, June 16, 2006

Cinta Indonesia??

Belakangan ini, tepatnya setelah hari Minggu (11 Juni 2006) kemarin menghabiskan seharian bantuin jadi juri seleksi calon siswa pertukaran pelajar Bina Antarbudaya (alias AFS, bahasa ngetrennya mah..) di Bandung, saya sering memikirkan tentang cinta Indonesia. Pasalnya, saat seleksi itu ada kejadian yang menurut para juri sangat disayangkan. Entah kenapa, siswa-siswa SMU kelas 1 yang ikut seleksi kali ini - menurut penilaian para juri yang sebagian besar mantan siswa AFS - lebih 'tidak masuk kualifikasi' dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kualifikasi yang diinginkan sebenarnya sederhana. Kami mencari siswa kelas 1 SMU yang sedikit banyak (hayoo.. sedikit atau banyak??) dapat:
  • mengetahui kelebihan dan kekurangan pribadinya,
  • punya visi dan cita-cita yang jelas (setidaknya bagi dirinya sendiri),
  • punya keinginan besar untuk mewujudkan visi dan cita-citanya tersebut dengan modal kelebihan dan kekurangan yang dia miliki
  • punya nilai-nilai yang dipegang teguh namun tetap menghargai nilai-nilai yang dipegang orang lain dan dapat mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut kepada orang lain dengan luwes
  • memiliki rasa dan sikap kebangsaan yang baik
Ya... walaupun tidak 100% sama dengan kualifikasi yang diberikan oleh pihak AFS pusat (yang ada di New York sana..), setidaknya kriteria itu yang saya pasang di kepala saat mewawancarai siswa-siswi yang lucu-lucu itu. Karena menurut pengalaman saya, untuk bertahan di negeri orang, selama setahun, jauh dari keluarga, tanpa kerabat, dalam usia yang sebegitu muda (siswa yang diberangkatkan rata-rata berusia 16-17 tahun; dulu saya berangkat di usia 16), hal-hal itu yang dibutuhkan untuk tetap sintas (gak tau arti sintas? sintas = survive. Nah.. kalau sekarang udah tau, sering-sering digunakan yah!! ;) ).

Poin terakhir yang nampaknya semakin susah dicari. Memiliki rasa dan sikap kebangsaan yang baik... Untuk menemukan bagaimana pandangan siswa terhadap negara dan bangsa Indonesia tercintah ini, saya cukup mengajukan pertanyaan, "Menurut kamu, Indonesia sekarang tuh gimana sih?" Sebagian besar menjawab, "Haduh.. Indonesia kacau banget dehh.. Ancur.. banyak korupsi, kriminal, gak teratur.." Dalam hati, saya mengiyakan jawaban mereka. Indonesia memang sangat kacau. Sangat berantakan. Sangat terhina-dina karena banyak sekali bukti yang mengarah pada pernyataan itu.

Lalu, di mana bagusnya Indonesia sampai seseorang, setidaknya Bangsa Indonesia yang berkewarganegaraan Indonesia sendiri bisa cinta dengan negara ini?? Hhmm... saya juga masih mencari...

Sepulangnya dari Bandung, Senin pagi, saya langsung berangkat ke kantor. Dari Bandung naik travel dan dijemputnya jam 4 pagi, makanya lebih memilih untuk pakai kerudung langsung yang notabene lebih kasual (baca = tidak cocok digunakan di kantor, kecuali pada acara olahraga bersama). Saya bekerja di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional, CIFOR. Banyak orang asing bekerja di sana. Begitu sampai di kantor, saya langsung menuju toilet untuk mengganti kerudung. Di situ ada seorang perempuan yang wajahnya agak asing. Sepertinya orang baru.
"Nice!" katanya, saat melihat saya menyampirkan kerudung saya. Awalnya saya pikir dia seorang Indonesia, karena wajahnya sangat Jawa. Ternyata ia seorang Philipino.
"Thank you :)" jawab saya sambil tersenyum.
Kemudian dia nyerocos, "I really like your country. Very nice!"
Saya mengernyit. "What part of my country that you like?"
"Everything... Jakarta! I love Jakarta! It's very nice compare to Manila!"
Saya tambah mengernyit. "Really?!! I thought Jakarta is the worst city in the world!"
"No! Believe me, it's much better than Manila! Well, nice to see you!" kemudian dia pun keluar dari toilet, meninggalkan saya yang masih mengernyit.

Masuk ke ruangan, masih dengan pikiran bingung. Kaget dan terharu ada yang mengatakan Indonesia bagus, bahkan lebih bagus dari negaranya. Tiba-tiba saya merasa jadi seperti pengkhianat bangsa karena kurang setuju dengan pernyataan perempuan Philipino tadi.

Saya buka Yahoo! Messenger. Seorang senior masa kuliah dulu sedang online dan menyapa saya. Dia menanyakan apa yang saya kerjakan, terkait dengan pekerjaan saya di lembaga ini.
"Lagi cari data spesies endemik atau yang dilindungi di kawasan Sentarum, Kalbar. Pusying euy" tulis saya di jendela messaging itu.
"Huh.. Indonesia mestinya punya basis data kehati (= keanekaragaman hayati, red). Itulah yang terjadi kalau kehati diurus sama orang kehutanan," begitu komentarnya.
"Lha? Memangnya harusnya gimana?"
"Harusnya kehati itu dikerjakan multidisipliner. Ada biologi, geologi, antropologi, sosial, hukum.."
"Iya yah.. di Indonesia kayaknya belum ada lembaga penelitian yang multidisipliner begitu menyangkut kehati.. Yang banyak justru lembaga penelitian asing, atau internasional, kayak tempatku kerja sekarang"
"Nahh.. gak tau deh apa maunya Indonesia.."
Duh.. lagi-lagi komentar tentang kebobrokan Indonesia. Terusan diskusi itu, saya juga menuliskan bahwa saya pribadi sangat membenci negara ini dalam kaitannya sebagai negara. Tapi, sebagai tanah air, cinta mati dahh.. Indonesia masih punya nilai-nilai luhur yang baik kok.. Cuma sayangnya pemerintah dan segala tetek bengek birokrasinya saja yang membuat negara ini terus-menerus terhina-dina (tanya ken..napa).

Malamnya, setengah mengantuk saya menonton Om Farhan di ANTV yang saat itu sedang membicarakan perfileman nasional. Lagi-lagi Indonesia diperbandingkan. Ketika iklan, saya rubah channelnya ke Piala Dunia. Pertandingan belum mulai, masing-masing tim masih berjejer di tengah lapangan sambil diperdengarkan lagu kebangsaan. Dalam kepala saya kala itu berpikir, bangga sekali kalau lagu Indonesia Raya diperdengarkan di situ. Kemudian saya mulai bernyanyi sendiri,
Indonesia, tanah airku, tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku
(??)
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita menyeru
(??) Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
bangsaku, rakyatku semuanya..
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya merdeka.. merdeka
Tanahku negeriku yang kucinta
(??)
Indonesia Raya merdeka.. merdeka

Hiduplah Indonesia Raya..

Tanda tanya (??) di atas, maksudnya saya tidak begitu yakin apakah liriknya benar begitu atau tidak.. Duhh.. Saya jadi malu sendiri. Cinta Indonesiakah saya?


Sunday, May 29, 2005

Mottainai

“Mite! Mite! Watashi no tabemono ga nokoshitenai yo! (Lihat! Lihat! Makanan saya tidak bersisa!)” seru seorang anak Jepang sambil menunjukkan mangkuk nasinya yang sudah kosong tanpa sebutir nasi pun tersisa. Teman-temannya ikut berebut menunjukkan mangkuk nasinya yang juga kosong.

Adegan tadi aku lihat tiga minggu yang lalu di berita di saluran televisi Jepang, NHK. Anak-anak yang ada dalam berita itu adalah anak-anak TK yang baru saja dibacakan sebuah buku cerita berjudul “Mottainai Obaachan”. Buku itu bercerita tentang seorang nenek yang tidak tidak pernah menyia-nyiakan sesuatu. Nenek itu tidak pernah berteriak, berbicara pun hanya sedikit, tapi dia selalu bertindak manakala melihat sesuatu yang sia-sia. Contohnya, di buku itu diceritakan manakala cucu sang nenek meninggalkan beberapa butir nasi dalam mangkuknya, sang nenek lalu segera mengambil mangkuk itu dan menghabiskan nasi di dalamnya; atau ketika sang cucu menggosok gigi sambil membiarkan kran air menyala, sang nenek akan langsung menghampiri dan mematikan kran air itu.

Memangnya apa sih pentingnya? Itu kan cuma buku cerita, buat anak-anak pula! Hoho... tunggu dulu! Anda akan kaget kalau saya ceritakan bahwa buku ini adalah salah satu media kampanye kebudayaan Jepang, dan telah dibacakan pada sebagian besar taman kanak-kanak dan SD di seluruh Jepang!

Meskipun terdengar sederhana, mottainai atau tidak menyia-nyiakan sesuatu (dalam bahasa kerennya lagi tidak mubadzir), adalah sebuah kata yang memiliki kekuatan dahsyat dalam kebudayaan Jepang. Seorang peneliti Jepang bernama Koichi Tanaka mendapat hadiah Nobel di bidang kimia karena dia terlalu sayang membuang campuran yang salah prosedur. Tugasnya kala itu adalah mencari matriks yang dapat mengionisasi makromolekul tanpa merusak makromolekul tersebut dengan secara efisien menyerap energi laser. Di salah satu percobaan trial and error-nya, secara tidak sengaja, alih-alih menggunakan Cobalt Ultra Fine Metal Powder (UFMP) sebagai matriks, ia menggunakan campuran gliserin-UFMP. Menyadari kesalahan tersebut, ketika hendak membuang campuran yang ia buat, terlintas perkataan “mottainai”. Sangat sulit dan mahal untuk mendapatkan UFMP. Karena itu, ia berusaha untuk memisahkan gliserin dari UFMP melalui proses evaporasi menggunakan vacuum chamber. Untuk mempercepat proses pengeringan, Tanaka menggunakan laser. Dan untuk memeriksa apakah gliserin masih tersisa atau tidak, ia menyalakan spektrometer dan memeriksa hasilnya. Dan.. jreng-jreng... ternyata hasil monitoring melalui spektrometer menunjukkan grafik puncak yang selama ini ia cari. Dari ketidaksengajaan dan rasa “mottainai” itulah ia berhasil mendapatkan hadiah Nobel. Cerita lengkapnya bisa dilihat di http://nobelprize.org/chemistry/laureates/2002/tanaka-autobio.html

Aku pernah mendiskusikan kata ini dengan keluarga angkatku di Jepang, dengan guru-guru dan teman-temanku di Minamitama dan dengan Yoshi. Mereka memberikan pendapat yang sama mengenai kata ini. Yoshi pernah berkata, “Kami (bangsa Jepang) sangat miskin ketika Perang Dunia II berakhir. Bukan karena kami kalah dalam peperangan tersebut, tapi karena perang benar-benar menghabiskan semua kepunyaan kami. Sejak saat itu, kami bekerja sangat keras dan menganggap segala sesuatu yang kami punya dan kami capai bernilai penting.
Aku terpaku dengan perkataan Yoshi. Aku merasa malu terhadap diriku sendiri ketika mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Menganggap segala sesuatu yang dimiliki dan dicapai bernilai penting... pola pikir ini diajarkan oleh Islam. Dan aku, sebagai seorang Muslim, harusnya tahu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hariku!

Seharusnya kita (aku, umat Islam dan bangsaku) dapat mencontoh Jepang dalam menerapkan “mottainai”nya. Tidak usah bermuluk-muluk mencanangkan gerakan ini dan itu yang hanya membuang uang dengan anggaran penyelenggaraannya, cukup dari diri sendiri, mulai hari ini.

Mengutip surat cinta Sang Khalik sebagai penuntun kehidupan sementara menuju kehidupan yang hakiki di akhirat, “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat badzir (mubadzir) adalah saudara-saudara syaithan (berada di jalan syaithan). Dan syaithan sangatlah kafir terhadap Rabb-nya (QS. Al-Israa’: 27).”

Friday, May 27, 2005

Yoshi (Bagian 2)

( Sebenernya ini udah ditulis sejak bulan April lalu, tapi belum sempet di-post…)

Kenapa aku tau-tau ngomongin Yoshi? Well, Yoshi (part 1) itu cuma pendahuluan. Ternyata, dari perkenalan yang singkat dan agak ‘unik’ itu, dia sekarang jadi salah satu teman baikku walau selama ini kami lebih banyak komunikasi via e-mail. Tiga hari yang lalu dia mengunjungiku di Jakarta karena sedang transit di Indonesia sebelum pulang ke Jepang. Kontrak kerjanya di Australia baru saja habis.

Aku banyak belajar dari seorang Yoshi. Komentar-komentar dan cerita-ceritanya banyak membuatku berpikir tentang bangsaku dan budayaku. Contohnya, ceritaku berikut.

Di hari kami kenalan, ketika berada di bis menuju Gambir, aku sempat bertanya kepada Yoshi apa first impression dia tentang Indonesia. Dia menjawab, “Kowai,” itu bahasa Jepang untuk “takut”.

“Takut? Kenapa?” tanyaku penasaran. Terus terang aku cukup kaget mendengar jawaban ini.

“Di buku ini,” katanya sambil memperlihatkan sebuah buku tourist’s guide berbahasa Jepang, “tertulis kalo Indonesia, terutama Jakarta adalah tempat yang berbahaya”

Bahaya?? Kekagetanku bertambah lagi. Tadi menakutkan, sekarang bahaya. Wahai.. apa yang telah ditulis di buku itu?

Kemudian dia menjelaskan bahwa di buku itu sangat dianjurkan untuk tidak menaiki bis kota karena banyak copetnya; juga jangan panggil taksi sembarangan, lebih baik minta ke resepsionis hotel dan pastikan taksinya dari perusahaan taksi Blue Bird karena yang lain tidak dijamin keamanannya (aku yakin kalo perusahaan taksi lain membaca buku ini, pengarang buku ini bisa dituntut). Ada juga ditulis untuk EXTRA WASPADA di jalan karena seseorang mungkin saja akan menodongkan pisau dan meminta barang berharga. Dan berbagai peringatan lainnya yang ketika Yoshi ceritakan itu padaku, mukaku memerah karena malu sekaligus marah.

Ya, aku malu karena memang itulah yang kerap terjadi di ibukota negeriku tercinta Indonesia; aku juga marah karena penulis itu dengan kejamnya menaruh label “berbahaya” pada Jakartaku, padahal buku yang ditulisnya adalah buku tourist’s guide!!

“Trus, kalo kamu takut dan menganggap Jakarta adalah tempat berbahaya, kenapa kamu nekat datang juga?” tanyaku sedikit panas.

“Well, saya pengen banget keliling Asia, dan saya belum pernah mengunjungi Indonesia. Karena itu, saya putuskan untuk mengambil resiko dan datang ke sini,” katanya, kali ini dengan senyum yang mengembang penuh harap. “Tapi sekarang saya merasa sedikit aman,” tambahnya lagi.

“Kenapa?” tanyaku.

“Ternyata gak lama setelah saya sampai di Indonesia, saya ketemu orang sebaik kamu dan temen kamu. Jadi setidaknya saya bisa menyimpulkan kalau buku itu gak sepenuhnya benar,” ujarnya mantap.

Aku dan Rima tersenyum lega mendengar jawaban Yoshi yang terakhir ini. Benar. Aku akui Jakarta memang agak sedikit menakutkan, jangankan bagi seorang Jepang yang negaranya begitu teratur dan aman, teman-teman kuliahku yang asalnya dari kota kecil juga seringkali berpendapat demikian. Dan kalau kupikir lagi, mungkin benar juga pernyataan di film Ateng (alm.), “Sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam ibu kota,” padahal film itu beredar tahun 80-an…

Jakarta oh Jakarta..

Tuesday, April 26, 2005

Yoshi (Bagian 1)

Yoshi, nama lengkapnya Yoshiaki Kato. Ia adalah seorang Jepang yang pernah kutolong di Bandara Sukarno-Hatta bulan Desember lima tahun silam.
Lucu juga kalau mengingat bagaimana kami berdua kenalan. Waktu itu aku ke bandara untuk melepas kepergian seorang sahabat yang hendak melanjutkan studinya ke US. Sepulangnya dari bandara, aku berencana untuk jalan-jalan ke Blok M dengan Rima, sahabatku juga yang kala itu sudah kuliah duluan di ITB (waktu itu aku masih berstatus sebagai anak SMU kelas 3). Ketika kami sedang menunggu bis Damri, iseng aku berkata kepada Rima, “Tebak Rim, cowok yang lagi di sana itu orang Jepang, Cina, atau Korea?” sambil menunjuk ke seorang pemuda asing yang tampangnya lagi bingung. Rima menebak bahwa pemuda itu seorang Cina karena matanya sipit. Lho?? bukannya orang Jepang sama Koreajuga sipit??
“Dia orang Jepang lagi Rim,” kataku. Rima mengerutkan dahinya.
“Kok lo tau? Kan sama-sama sipit”
“Iya lah.. dia lagi pegang buku bahasa Jepang,” jawabku sambil terkekeh.
“Ye..!! Lo curang! Gue kan gak tau bedanya tulisan Cina sama Jepang. Kalo Korea mah kotak-kotak gitu..”
Kemudian Rima kembali menatap pemuda itu, “Kayaknya dia lagi kebingungan deh Nov. Lo tegor gih, kali aja dia lagi nyasar gak tau ke mana.”
“Hah? Males ah.. paling-paling cuma lagi bingung mesti naik bis yang mana,” jawabku setengah hati.
“Kalo gue bisa bahasa Jepang sih gue tegor deh.. kasian.. Lagian lo tega banget sih! Kalo dia nanti nyasar trus dicopet atau ditipu orang, lo yang dosa lo!” kata Rima setengah sewot.
“Lho?? Kok bisa gue yang dosa?”
“Iya lah.. lo udah punya ilmu, harusnya dipraktekin buat nolong orang. Gih tegor sana!” kata Rima sambil mendorongku ke arah pemuda itu.
Masih setengah hati, aku beranjak dari tempat dudukku dan mulai menghampiri pemuda itu. Dia terlihat sedikit takut.
“Sumimasen, Nihon-jin desu ka?” aku bertanya apakah dia orang Jepang, takut kalau tebakanku tadi salah.
Matanya sedikit terbelalak, kayaknya sih kaget. Lalu dia menjawab, “Hai. Anata mo Nihon-jin desu ka?”
Huahuahua!! Aku tertawa dalam hati. Kok dia nanya aku orang Jepang juga? Emang mataku segitu sipitnya? Apalagi kulitku agak sawo matang, darimana Jepangnya??
Lalu aku jelaskan bahwa aku orang Indonesia asli, tapi aku bisa sedikit bahasa Jepang karena aku pernah ikut pertukaran pelajar ke sana. Kemudian aku katakan bahwa aku melihatnya dari tadi seperti orang bingung dan menawarkan bantuan.
“Saya mau ke Jalan Jaksa,” katanya (dalam bahasa Jepang tentunya). Wah.. ternyata dia termasuk turis asing yang kere. Nginapnya aja di Jalan Jaksa yang terkenal dengan hotel-hotel murah yang biasa dijadikan tempat menginap turis-turis back packers. “tapi saya bingung harus naik apa. Orang-orang yang saya tanya gak ada yang kasih jawaban. Mungkin mereka gak ngerti apa yang saya tanyakan,” wajahnya menampakkan kebingungan lagi.
Hihihi.. aku kembali tertawa dalam hati. Iya lah, gak ada yang ngerti apa yang kamu tanyain kalo kamu bicara pakai bahasa Inggris. Logat Inggrisnya orang Jepang kan aneh dan sulit dipahami.
Lalu aku bertanya ke petugas bis Damri, menanyakan Damri yang jurusan Gambir.
“Bisnya belum datang, sebentar lagi. Kamu nunggu aja di sana dulu. Di sana ada teman saya” kataku setelah mendapat jawaban dari petugas Damri. Lalu kami berjalan ke tempat Rima duduk.
Aku ceritakan ke Rima kalau pemuda ini mau ke Jalan Jaksa. Dia pun menyarankan untuk mengantarnya sampai Jalan Jaksa, kalau-kalau dari Gambir dia nyasar lagi. Lalu, kami bertiga pun berkenalan. Namanya Yoshiaki Kato.
Yah.. ceritanya berlanjut hingga aku dan Rima mengantar pemuda itu. Di Gambir, setelah turun dari Damri, dia menawarkan untuk berhenti di suatu tempat dulu untuk sekedar minum. Awalnya aku dan Rima menolak, karena hari sudah menjelang senja, dan rumah kami berdua sama-sama jauh dari situ, tapi dia memaksa. Aku hapal betul budaya Jepang yang satu ini, dia akan merasa sangat tidak enak kalau tidak bisa membalas kebaikan kami berdua. Akhirnya aku dan Rima setuju.
Kami minum di salah satu warung kaki lima di Stasiun Gambir. Aku merekomendasikan Yoshi untuk minum es campur karena di Jepang tidak ada minuman semacam itu. Dia pun menurut. Lucunya, sewaktu menunggu pesanan es campur kami, aku perhatikan Yoshi sibuk mengusir lalat yang beterbangan di meja tempat kami duduk. Hihi.. perasaanku agak geli bercampur malu saat itu. Di Jepang gak ada tempat makan yang lalatnya berseliweran, jorok. Welcome to Indonesia Yoshi! Orang kami cukup terbiasa makan ditemani lalat!
Kisah perkenalanku dengan Yoshi berlanjut setelah aku dan Rima mengantarnya sampai ke Jalan Jaksa. Setelah dia check-in di salah satu penginapan, dia memintaku dan Rima untuk sekali lagi mengantarnya. Kali ini ke Sogo di Plaza Indonesia, dia ingin melihat seperti apa Sogo di Indonesia karena Sogo Departement Store memang lahir di Jepang. Hah.. ngerepotin banget orang ini, pikirku.
Kami pun berjalan dari Jalan Jaksa ke Plaza Indonesia, dan berpisah di sana
karena hari sudah malam. Tapi cerita kami belum selesai karena akhirnya kami bertukaran alamat dan Yoshi memintaku dan Rima untuk menemuinya lagi sebelum dia pulang ke Jepang. Saat itu dia berencana untuk menikmati tahun baru di Bali, kemudian akan pulang ke Jepang dari Jakarta.
(bersambung)

Saturday, April 23, 2005

(Bukan) Hari Biasa - Bagian 2

Hembusan angin sepoi semakin membawaku jauh melayang merindukan rumah. Agas-agas itu kini telah kuhiraukan, meninggalkan rasa gatal yang semakin kugaruk semakin menambah koleksi korengku.

Kubuka-buka buku jurnalku yang masih bergambar tanda tanya besar. Aku sedang bingung menentukan metode yang tepat untuk wawancara hari ini. Wawancara kemarin agak kacau karena Bang Best (salah satu tim di proyek tempat aku numpang penelitian TA sekarang ini) terlalu cepat menjemputku di rumah Pak Tamin. Bukannya membantu mengarahkan wawancara, dia malah sibuk cerita tentang ladang di kampungnya.

Dari kejauhan kudengar suara anak-anak berlarian. Ah.. rupanya sudah jam 7, anak-anak SD sudah mulai berbondong-bondong menuju sekolahnya. Berbeda dengan sekolahku dulu yang mulai jam 06.45 (sadis... pantas aku gak begitu suka sekolah... baru semangat setelah tau ada makhluk manis di kelas sebelah... hihi.. jaman culun dulu..), di desa ini jam 7 anak-anak baru berada di perjalanan. Itu pun mereka harus berjalan kurang lebih 3 km untuk sampai ke sekolah mereka. JALAN KAKI!! Jangan bayangkan jalanan aspal yang licin, mereka harus melewati jalan berbatu yang kalau hari sebelumnya hujan akan berubah jadi kubangan lumpur. Subhanallah.. semangat mereka benar-benar patut diacungi jempol untuk sekolah!

Tak jauh dari anak SD yang sedang berlari-lari, terlihat beberapa anak berseragam putih-biru mendekat ke arahku. Ya! Itu Siti Jamilah dan kawan-kawannya dari Dusun Pedukuh. Lima jempol buat anak-anak ini, kalau mereka sampai di tempatku duduk sekarang, berarti mereka sudah menempuh 4 km perjalanan!! Belum lagi yang namanya Siti Jamilah, dia harus berangkat dari ladang orangtuanya yang berjarak 2 km dari Dusun Pedukuh. Masya Allah!! Jalan kaki sejauh 6 km untuk sekolah?? Aku yang selalu diantar-jemput mama saja masih suka mengeluh capek..

(bersambung lagi..)

Thursday, April 21, 2005

(Bukan) Hari Biasa

Pagi itu, jam dinding di ruang tengah rumah keluarga Pak Andra menunjukkan pukul 05.05. Mentari masih malu menampakan meganya sementara derik jangkrik mulai bersahutan dengan teriakan siamang dari dalam rimba, membangunkanku yang sedang tergulung dalam sleeping bag hangatku.

Diterangi cahaya senter, aku mulai menapaki jalan menuju sumur. Sebulan yang lalu, aku selalu merinding lewat jalan itu karena selalu terbayang wajah separo-nya Sadako dari film The Ring (maklum.. penakut kok sukanya nonton horror), belum lagi kalo mendengar suara timba yang berdecit memekakkan telinga.. hi...

Usai berwudhu, aku langsung shalat. Derik jangkrik masih bersahutan dengan siamang, semakin gaduh diselingi dengan terpaan angin dari pohon duren di seberang halaman. Perlahan, kulipat sajadah dan kurapikan sleeping bag. Pagi ini terlalu berharga untuk dilewatkan sambil mendengkur. Kubuka pintu yang kunci selotnya berderet lima, satu per satu. Tak lama aku pun telah duduk di "teras" rumah Pak Andra sambil mengamati merahnya mega yang kian menghilang.

"Klening-klentung", lonceng leher yang diikat di leher kerbau cukup mengagetkanku yang tengah merindukan rumah. Tak lama, serbuan agas datang. Rupanya kerbau ini baru saja bangun dari kubangannya di samping rumah Pak Andra. Waduuhhh... kaki dan tanganku langsung bentol dalam hitungan detik, sambil sesekali "plak!!" menepuk agas yang kian beringas. (Buat yang gak tau agas, mending jangan mau tau dehh..)

"Pagi-pagi kok lah ribut Bu Nova!!" terdengar teriakan Timah, dari seberang jalan. Nama lengkapnya Siti Fatimah, baru seminggu ini dia menikah dengan tukang yang ikut mendirikan gedung SMP di depan rumah Pak Andra. "Makanya, cari abang!!Hari nak kiamat!!" teriaknya lagi. Aku cuma tertawa mendengarnya. Timah.. Timah.. usianya saja baru 17 tahun, tapi keluarganya sudah sempet heboh waktu mencarikan jodoh untuk dia, takut keburu jadi perawan tua kata mereka. Gimana aku yang sudah 22 ini ya??

(bersambung)