Sunday, May 29, 2005

Mottainai

“Mite! Mite! Watashi no tabemono ga nokoshitenai yo! (Lihat! Lihat! Makanan saya tidak bersisa!)” seru seorang anak Jepang sambil menunjukkan mangkuk nasinya yang sudah kosong tanpa sebutir nasi pun tersisa. Teman-temannya ikut berebut menunjukkan mangkuk nasinya yang juga kosong.

Adegan tadi aku lihat tiga minggu yang lalu di berita di saluran televisi Jepang, NHK. Anak-anak yang ada dalam berita itu adalah anak-anak TK yang baru saja dibacakan sebuah buku cerita berjudul “Mottainai Obaachan”. Buku itu bercerita tentang seorang nenek yang tidak tidak pernah menyia-nyiakan sesuatu. Nenek itu tidak pernah berteriak, berbicara pun hanya sedikit, tapi dia selalu bertindak manakala melihat sesuatu yang sia-sia. Contohnya, di buku itu diceritakan manakala cucu sang nenek meninggalkan beberapa butir nasi dalam mangkuknya, sang nenek lalu segera mengambil mangkuk itu dan menghabiskan nasi di dalamnya; atau ketika sang cucu menggosok gigi sambil membiarkan kran air menyala, sang nenek akan langsung menghampiri dan mematikan kran air itu.

Memangnya apa sih pentingnya? Itu kan cuma buku cerita, buat anak-anak pula! Hoho... tunggu dulu! Anda akan kaget kalau saya ceritakan bahwa buku ini adalah salah satu media kampanye kebudayaan Jepang, dan telah dibacakan pada sebagian besar taman kanak-kanak dan SD di seluruh Jepang!

Meskipun terdengar sederhana, mottainai atau tidak menyia-nyiakan sesuatu (dalam bahasa kerennya lagi tidak mubadzir), adalah sebuah kata yang memiliki kekuatan dahsyat dalam kebudayaan Jepang. Seorang peneliti Jepang bernama Koichi Tanaka mendapat hadiah Nobel di bidang kimia karena dia terlalu sayang membuang campuran yang salah prosedur. Tugasnya kala itu adalah mencari matriks yang dapat mengionisasi makromolekul tanpa merusak makromolekul tersebut dengan secara efisien menyerap energi laser. Di salah satu percobaan trial and error-nya, secara tidak sengaja, alih-alih menggunakan Cobalt Ultra Fine Metal Powder (UFMP) sebagai matriks, ia menggunakan campuran gliserin-UFMP. Menyadari kesalahan tersebut, ketika hendak membuang campuran yang ia buat, terlintas perkataan “mottainai”. Sangat sulit dan mahal untuk mendapatkan UFMP. Karena itu, ia berusaha untuk memisahkan gliserin dari UFMP melalui proses evaporasi menggunakan vacuum chamber. Untuk mempercepat proses pengeringan, Tanaka menggunakan laser. Dan untuk memeriksa apakah gliserin masih tersisa atau tidak, ia menyalakan spektrometer dan memeriksa hasilnya. Dan.. jreng-jreng... ternyata hasil monitoring melalui spektrometer menunjukkan grafik puncak yang selama ini ia cari. Dari ketidaksengajaan dan rasa “mottainai” itulah ia berhasil mendapatkan hadiah Nobel. Cerita lengkapnya bisa dilihat di http://nobelprize.org/chemistry/laureates/2002/tanaka-autobio.html

Aku pernah mendiskusikan kata ini dengan keluarga angkatku di Jepang, dengan guru-guru dan teman-temanku di Minamitama dan dengan Yoshi. Mereka memberikan pendapat yang sama mengenai kata ini. Yoshi pernah berkata, “Kami (bangsa Jepang) sangat miskin ketika Perang Dunia II berakhir. Bukan karena kami kalah dalam peperangan tersebut, tapi karena perang benar-benar menghabiskan semua kepunyaan kami. Sejak saat itu, kami bekerja sangat keras dan menganggap segala sesuatu yang kami punya dan kami capai bernilai penting.
Aku terpaku dengan perkataan Yoshi. Aku merasa malu terhadap diriku sendiri ketika mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya. Menganggap segala sesuatu yang dimiliki dan dicapai bernilai penting... pola pikir ini diajarkan oleh Islam. Dan aku, sebagai seorang Muslim, harusnya tahu dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hariku!

Seharusnya kita (aku, umat Islam dan bangsaku) dapat mencontoh Jepang dalam menerapkan “mottainai”nya. Tidak usah bermuluk-muluk mencanangkan gerakan ini dan itu yang hanya membuang uang dengan anggaran penyelenggaraannya, cukup dari diri sendiri, mulai hari ini.

Mengutip surat cinta Sang Khalik sebagai penuntun kehidupan sementara menuju kehidupan yang hakiki di akhirat, “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat badzir (mubadzir) adalah saudara-saudara syaithan (berada di jalan syaithan). Dan syaithan sangatlah kafir terhadap Rabb-nya (QS. Al-Israa’: 27).”

Friday, May 27, 2005

Yoshi (Bagian 2)

( Sebenernya ini udah ditulis sejak bulan April lalu, tapi belum sempet di-post…)

Kenapa aku tau-tau ngomongin Yoshi? Well, Yoshi (part 1) itu cuma pendahuluan. Ternyata, dari perkenalan yang singkat dan agak ‘unik’ itu, dia sekarang jadi salah satu teman baikku walau selama ini kami lebih banyak komunikasi via e-mail. Tiga hari yang lalu dia mengunjungiku di Jakarta karena sedang transit di Indonesia sebelum pulang ke Jepang. Kontrak kerjanya di Australia baru saja habis.

Aku banyak belajar dari seorang Yoshi. Komentar-komentar dan cerita-ceritanya banyak membuatku berpikir tentang bangsaku dan budayaku. Contohnya, ceritaku berikut.

Di hari kami kenalan, ketika berada di bis menuju Gambir, aku sempat bertanya kepada Yoshi apa first impression dia tentang Indonesia. Dia menjawab, “Kowai,” itu bahasa Jepang untuk “takut”.

“Takut? Kenapa?” tanyaku penasaran. Terus terang aku cukup kaget mendengar jawaban ini.

“Di buku ini,” katanya sambil memperlihatkan sebuah buku tourist’s guide berbahasa Jepang, “tertulis kalo Indonesia, terutama Jakarta adalah tempat yang berbahaya”

Bahaya?? Kekagetanku bertambah lagi. Tadi menakutkan, sekarang bahaya. Wahai.. apa yang telah ditulis di buku itu?

Kemudian dia menjelaskan bahwa di buku itu sangat dianjurkan untuk tidak menaiki bis kota karena banyak copetnya; juga jangan panggil taksi sembarangan, lebih baik minta ke resepsionis hotel dan pastikan taksinya dari perusahaan taksi Blue Bird karena yang lain tidak dijamin keamanannya (aku yakin kalo perusahaan taksi lain membaca buku ini, pengarang buku ini bisa dituntut). Ada juga ditulis untuk EXTRA WASPADA di jalan karena seseorang mungkin saja akan menodongkan pisau dan meminta barang berharga. Dan berbagai peringatan lainnya yang ketika Yoshi ceritakan itu padaku, mukaku memerah karena malu sekaligus marah.

Ya, aku malu karena memang itulah yang kerap terjadi di ibukota negeriku tercinta Indonesia; aku juga marah karena penulis itu dengan kejamnya menaruh label “berbahaya” pada Jakartaku, padahal buku yang ditulisnya adalah buku tourist’s guide!!

“Trus, kalo kamu takut dan menganggap Jakarta adalah tempat berbahaya, kenapa kamu nekat datang juga?” tanyaku sedikit panas.

“Well, saya pengen banget keliling Asia, dan saya belum pernah mengunjungi Indonesia. Karena itu, saya putuskan untuk mengambil resiko dan datang ke sini,” katanya, kali ini dengan senyum yang mengembang penuh harap. “Tapi sekarang saya merasa sedikit aman,” tambahnya lagi.

“Kenapa?” tanyaku.

“Ternyata gak lama setelah saya sampai di Indonesia, saya ketemu orang sebaik kamu dan temen kamu. Jadi setidaknya saya bisa menyimpulkan kalau buku itu gak sepenuhnya benar,” ujarnya mantap.

Aku dan Rima tersenyum lega mendengar jawaban Yoshi yang terakhir ini. Benar. Aku akui Jakarta memang agak sedikit menakutkan, jangankan bagi seorang Jepang yang negaranya begitu teratur dan aman, teman-teman kuliahku yang asalnya dari kota kecil juga seringkali berpendapat demikian. Dan kalau kupikir lagi, mungkin benar juga pernyataan di film Ateng (alm.), “Sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam ibu kota,” padahal film itu beredar tahun 80-an…

Jakarta oh Jakarta..