Tuesday, April 26, 2005

Yoshi (Bagian 1)

Yoshi, nama lengkapnya Yoshiaki Kato. Ia adalah seorang Jepang yang pernah kutolong di Bandara Sukarno-Hatta bulan Desember lima tahun silam.
Lucu juga kalau mengingat bagaimana kami berdua kenalan. Waktu itu aku ke bandara untuk melepas kepergian seorang sahabat yang hendak melanjutkan studinya ke US. Sepulangnya dari bandara, aku berencana untuk jalan-jalan ke Blok M dengan Rima, sahabatku juga yang kala itu sudah kuliah duluan di ITB (waktu itu aku masih berstatus sebagai anak SMU kelas 3). Ketika kami sedang menunggu bis Damri, iseng aku berkata kepada Rima, “Tebak Rim, cowok yang lagi di sana itu orang Jepang, Cina, atau Korea?” sambil menunjuk ke seorang pemuda asing yang tampangnya lagi bingung. Rima menebak bahwa pemuda itu seorang Cina karena matanya sipit. Lho?? bukannya orang Jepang sama Koreajuga sipit??
“Dia orang Jepang lagi Rim,” kataku. Rima mengerutkan dahinya.
“Kok lo tau? Kan sama-sama sipit”
“Iya lah.. dia lagi pegang buku bahasa Jepang,” jawabku sambil terkekeh.
“Ye..!! Lo curang! Gue kan gak tau bedanya tulisan Cina sama Jepang. Kalo Korea mah kotak-kotak gitu..”
Kemudian Rima kembali menatap pemuda itu, “Kayaknya dia lagi kebingungan deh Nov. Lo tegor gih, kali aja dia lagi nyasar gak tau ke mana.”
“Hah? Males ah.. paling-paling cuma lagi bingung mesti naik bis yang mana,” jawabku setengah hati.
“Kalo gue bisa bahasa Jepang sih gue tegor deh.. kasian.. Lagian lo tega banget sih! Kalo dia nanti nyasar trus dicopet atau ditipu orang, lo yang dosa lo!” kata Rima setengah sewot.
“Lho?? Kok bisa gue yang dosa?”
“Iya lah.. lo udah punya ilmu, harusnya dipraktekin buat nolong orang. Gih tegor sana!” kata Rima sambil mendorongku ke arah pemuda itu.
Masih setengah hati, aku beranjak dari tempat dudukku dan mulai menghampiri pemuda itu. Dia terlihat sedikit takut.
“Sumimasen, Nihon-jin desu ka?” aku bertanya apakah dia orang Jepang, takut kalau tebakanku tadi salah.
Matanya sedikit terbelalak, kayaknya sih kaget. Lalu dia menjawab, “Hai. Anata mo Nihon-jin desu ka?”
Huahuahua!! Aku tertawa dalam hati. Kok dia nanya aku orang Jepang juga? Emang mataku segitu sipitnya? Apalagi kulitku agak sawo matang, darimana Jepangnya??
Lalu aku jelaskan bahwa aku orang Indonesia asli, tapi aku bisa sedikit bahasa Jepang karena aku pernah ikut pertukaran pelajar ke sana. Kemudian aku katakan bahwa aku melihatnya dari tadi seperti orang bingung dan menawarkan bantuan.
“Saya mau ke Jalan Jaksa,” katanya (dalam bahasa Jepang tentunya). Wah.. ternyata dia termasuk turis asing yang kere. Nginapnya aja di Jalan Jaksa yang terkenal dengan hotel-hotel murah yang biasa dijadikan tempat menginap turis-turis back packers. “tapi saya bingung harus naik apa. Orang-orang yang saya tanya gak ada yang kasih jawaban. Mungkin mereka gak ngerti apa yang saya tanyakan,” wajahnya menampakkan kebingungan lagi.
Hihihi.. aku kembali tertawa dalam hati. Iya lah, gak ada yang ngerti apa yang kamu tanyain kalo kamu bicara pakai bahasa Inggris. Logat Inggrisnya orang Jepang kan aneh dan sulit dipahami.
Lalu aku bertanya ke petugas bis Damri, menanyakan Damri yang jurusan Gambir.
“Bisnya belum datang, sebentar lagi. Kamu nunggu aja di sana dulu. Di sana ada teman saya” kataku setelah mendapat jawaban dari petugas Damri. Lalu kami berjalan ke tempat Rima duduk.
Aku ceritakan ke Rima kalau pemuda ini mau ke Jalan Jaksa. Dia pun menyarankan untuk mengantarnya sampai Jalan Jaksa, kalau-kalau dari Gambir dia nyasar lagi. Lalu, kami bertiga pun berkenalan. Namanya Yoshiaki Kato.
Yah.. ceritanya berlanjut hingga aku dan Rima mengantar pemuda itu. Di Gambir, setelah turun dari Damri, dia menawarkan untuk berhenti di suatu tempat dulu untuk sekedar minum. Awalnya aku dan Rima menolak, karena hari sudah menjelang senja, dan rumah kami berdua sama-sama jauh dari situ, tapi dia memaksa. Aku hapal betul budaya Jepang yang satu ini, dia akan merasa sangat tidak enak kalau tidak bisa membalas kebaikan kami berdua. Akhirnya aku dan Rima setuju.
Kami minum di salah satu warung kaki lima di Stasiun Gambir. Aku merekomendasikan Yoshi untuk minum es campur karena di Jepang tidak ada minuman semacam itu. Dia pun menurut. Lucunya, sewaktu menunggu pesanan es campur kami, aku perhatikan Yoshi sibuk mengusir lalat yang beterbangan di meja tempat kami duduk. Hihi.. perasaanku agak geli bercampur malu saat itu. Di Jepang gak ada tempat makan yang lalatnya berseliweran, jorok. Welcome to Indonesia Yoshi! Orang kami cukup terbiasa makan ditemani lalat!
Kisah perkenalanku dengan Yoshi berlanjut setelah aku dan Rima mengantarnya sampai ke Jalan Jaksa. Setelah dia check-in di salah satu penginapan, dia memintaku dan Rima untuk sekali lagi mengantarnya. Kali ini ke Sogo di Plaza Indonesia, dia ingin melihat seperti apa Sogo di Indonesia karena Sogo Departement Store memang lahir di Jepang. Hah.. ngerepotin banget orang ini, pikirku.
Kami pun berjalan dari Jalan Jaksa ke Plaza Indonesia, dan berpisah di sana
karena hari sudah malam. Tapi cerita kami belum selesai karena akhirnya kami bertukaran alamat dan Yoshi memintaku dan Rima untuk menemuinya lagi sebelum dia pulang ke Jepang. Saat itu dia berencana untuk menikmati tahun baru di Bali, kemudian akan pulang ke Jepang dari Jakarta.
(bersambung)

Saturday, April 23, 2005

(Bukan) Hari Biasa - Bagian 2

Hembusan angin sepoi semakin membawaku jauh melayang merindukan rumah. Agas-agas itu kini telah kuhiraukan, meninggalkan rasa gatal yang semakin kugaruk semakin menambah koleksi korengku.

Kubuka-buka buku jurnalku yang masih bergambar tanda tanya besar. Aku sedang bingung menentukan metode yang tepat untuk wawancara hari ini. Wawancara kemarin agak kacau karena Bang Best (salah satu tim di proyek tempat aku numpang penelitian TA sekarang ini) terlalu cepat menjemputku di rumah Pak Tamin. Bukannya membantu mengarahkan wawancara, dia malah sibuk cerita tentang ladang di kampungnya.

Dari kejauhan kudengar suara anak-anak berlarian. Ah.. rupanya sudah jam 7, anak-anak SD sudah mulai berbondong-bondong menuju sekolahnya. Berbeda dengan sekolahku dulu yang mulai jam 06.45 (sadis... pantas aku gak begitu suka sekolah... baru semangat setelah tau ada makhluk manis di kelas sebelah... hihi.. jaman culun dulu..), di desa ini jam 7 anak-anak baru berada di perjalanan. Itu pun mereka harus berjalan kurang lebih 3 km untuk sampai ke sekolah mereka. JALAN KAKI!! Jangan bayangkan jalanan aspal yang licin, mereka harus melewati jalan berbatu yang kalau hari sebelumnya hujan akan berubah jadi kubangan lumpur. Subhanallah.. semangat mereka benar-benar patut diacungi jempol untuk sekolah!

Tak jauh dari anak SD yang sedang berlari-lari, terlihat beberapa anak berseragam putih-biru mendekat ke arahku. Ya! Itu Siti Jamilah dan kawan-kawannya dari Dusun Pedukuh. Lima jempol buat anak-anak ini, kalau mereka sampai di tempatku duduk sekarang, berarti mereka sudah menempuh 4 km perjalanan!! Belum lagi yang namanya Siti Jamilah, dia harus berangkat dari ladang orangtuanya yang berjarak 2 km dari Dusun Pedukuh. Masya Allah!! Jalan kaki sejauh 6 km untuk sekolah?? Aku yang selalu diantar-jemput mama saja masih suka mengeluh capek..

(bersambung lagi..)

Thursday, April 21, 2005

(Bukan) Hari Biasa

Pagi itu, jam dinding di ruang tengah rumah keluarga Pak Andra menunjukkan pukul 05.05. Mentari masih malu menampakan meganya sementara derik jangkrik mulai bersahutan dengan teriakan siamang dari dalam rimba, membangunkanku yang sedang tergulung dalam sleeping bag hangatku.

Diterangi cahaya senter, aku mulai menapaki jalan menuju sumur. Sebulan yang lalu, aku selalu merinding lewat jalan itu karena selalu terbayang wajah separo-nya Sadako dari film The Ring (maklum.. penakut kok sukanya nonton horror), belum lagi kalo mendengar suara timba yang berdecit memekakkan telinga.. hi...

Usai berwudhu, aku langsung shalat. Derik jangkrik masih bersahutan dengan siamang, semakin gaduh diselingi dengan terpaan angin dari pohon duren di seberang halaman. Perlahan, kulipat sajadah dan kurapikan sleeping bag. Pagi ini terlalu berharga untuk dilewatkan sambil mendengkur. Kubuka pintu yang kunci selotnya berderet lima, satu per satu. Tak lama aku pun telah duduk di "teras" rumah Pak Andra sambil mengamati merahnya mega yang kian menghilang.

"Klening-klentung", lonceng leher yang diikat di leher kerbau cukup mengagetkanku yang tengah merindukan rumah. Tak lama, serbuan agas datang. Rupanya kerbau ini baru saja bangun dari kubangannya di samping rumah Pak Andra. Waduuhhh... kaki dan tanganku langsung bentol dalam hitungan detik, sambil sesekali "plak!!" menepuk agas yang kian beringas. (Buat yang gak tau agas, mending jangan mau tau dehh..)

"Pagi-pagi kok lah ribut Bu Nova!!" terdengar teriakan Timah, dari seberang jalan. Nama lengkapnya Siti Fatimah, baru seminggu ini dia menikah dengan tukang yang ikut mendirikan gedung SMP di depan rumah Pak Andra. "Makanya, cari abang!!Hari nak kiamat!!" teriaknya lagi. Aku cuma tertawa mendengarnya. Timah.. Timah.. usianya saja baru 17 tahun, tapi keluarganya sudah sempet heboh waktu mencarikan jodoh untuk dia, takut keburu jadi perawan tua kata mereka. Gimana aku yang sudah 22 ini ya??

(bersambung)