Friday, May 27, 2005

Yoshi (Bagian 2)

( Sebenernya ini udah ditulis sejak bulan April lalu, tapi belum sempet di-post…)

Kenapa aku tau-tau ngomongin Yoshi? Well, Yoshi (part 1) itu cuma pendahuluan. Ternyata, dari perkenalan yang singkat dan agak ‘unik’ itu, dia sekarang jadi salah satu teman baikku walau selama ini kami lebih banyak komunikasi via e-mail. Tiga hari yang lalu dia mengunjungiku di Jakarta karena sedang transit di Indonesia sebelum pulang ke Jepang. Kontrak kerjanya di Australia baru saja habis.

Aku banyak belajar dari seorang Yoshi. Komentar-komentar dan cerita-ceritanya banyak membuatku berpikir tentang bangsaku dan budayaku. Contohnya, ceritaku berikut.

Di hari kami kenalan, ketika berada di bis menuju Gambir, aku sempat bertanya kepada Yoshi apa first impression dia tentang Indonesia. Dia menjawab, “Kowai,” itu bahasa Jepang untuk “takut”.

“Takut? Kenapa?” tanyaku penasaran. Terus terang aku cukup kaget mendengar jawaban ini.

“Di buku ini,” katanya sambil memperlihatkan sebuah buku tourist’s guide berbahasa Jepang, “tertulis kalo Indonesia, terutama Jakarta adalah tempat yang berbahaya”

Bahaya?? Kekagetanku bertambah lagi. Tadi menakutkan, sekarang bahaya. Wahai.. apa yang telah ditulis di buku itu?

Kemudian dia menjelaskan bahwa di buku itu sangat dianjurkan untuk tidak menaiki bis kota karena banyak copetnya; juga jangan panggil taksi sembarangan, lebih baik minta ke resepsionis hotel dan pastikan taksinya dari perusahaan taksi Blue Bird karena yang lain tidak dijamin keamanannya (aku yakin kalo perusahaan taksi lain membaca buku ini, pengarang buku ini bisa dituntut). Ada juga ditulis untuk EXTRA WASPADA di jalan karena seseorang mungkin saja akan menodongkan pisau dan meminta barang berharga. Dan berbagai peringatan lainnya yang ketika Yoshi ceritakan itu padaku, mukaku memerah karena malu sekaligus marah.

Ya, aku malu karena memang itulah yang kerap terjadi di ibukota negeriku tercinta Indonesia; aku juga marah karena penulis itu dengan kejamnya menaruh label “berbahaya” pada Jakartaku, padahal buku yang ditulisnya adalah buku tourist’s guide!!

“Trus, kalo kamu takut dan menganggap Jakarta adalah tempat berbahaya, kenapa kamu nekat datang juga?” tanyaku sedikit panas.

“Well, saya pengen banget keliling Asia, dan saya belum pernah mengunjungi Indonesia. Karena itu, saya putuskan untuk mengambil resiko dan datang ke sini,” katanya, kali ini dengan senyum yang mengembang penuh harap. “Tapi sekarang saya merasa sedikit aman,” tambahnya lagi.

“Kenapa?” tanyaku.

“Ternyata gak lama setelah saya sampai di Indonesia, saya ketemu orang sebaik kamu dan temen kamu. Jadi setidaknya saya bisa menyimpulkan kalau buku itu gak sepenuhnya benar,” ujarnya mantap.

Aku dan Rima tersenyum lega mendengar jawaban Yoshi yang terakhir ini. Benar. Aku akui Jakarta memang agak sedikit menakutkan, jangankan bagi seorang Jepang yang negaranya begitu teratur dan aman, teman-teman kuliahku yang asalnya dari kota kecil juga seringkali berpendapat demikian. Dan kalau kupikir lagi, mungkin benar juga pernyataan di film Ateng (alm.), “Sekejam-kejamnya ibu tiri, lebih kejam ibu kota,” padahal film itu beredar tahun 80-an…

Jakarta oh Jakarta..

No comments: