Monday, June 19, 2006

Khalifah di Bumi?

Bukan bermaksud klarifikasi tulisan teman saya bahwa beberapa hari yang lalu saya ‘mengumpat’ lewat status YM saya. “We really don’t deserve this planet!!” Itu bunyinya. Beberapa hari sebelum status itu, saya ‘mengumpat’ juga dengan kalimat “Khalifah di bumi??” Saya hanya ingin berbagi kekesalan. Tentang bangsa saya, tentang ketidakberdayaan saya dalam mengatasi hal-hal yang akhirnya cuma jadi umpatan, dan tentang hal-hal mengenaskan yang saya temui dalam pekerjaan saya.

Saat saya mencantumkan status di YM saya, sebenarnya saya sedang mengerjakan tugas yang diberikan oleh supervisor saya. Saya diminta untuk mencari argumen-argumen ilmiah yang dapat diajukan sebagai penolakan rencana pemerintah untuk mengkonversi lahan seluas 1,8 juta herktar di perbatasan Kalimantan, Indonesia dengan Sarawak, Malaysia. Alasan pemerintah untuk tetap menjalankan rencana itu, yang saya tangkap hanya satu: menyejahterakan masyarakat yang tinggal di perbatasan.

Masyarakat yang tinggal di perbatasan memang sebagian besar (kalau tidak mau dikatakan seluruhnya) masyarakat miskin[i]; seperti umumnya kondisi masyarakat yang tinggal di pedalaman Indonesia. Pembangunan negeri ini, yang menghabiskan hutang dari negeri lain yang mungkin tidak akan pernah bisa terbayar sampai kiamat itu, tidak mampu menjamah daerah mereka. Jangankan yang berada di dalam maupun pinggiran hutan, ketika harus memperbaiki jalan Lintas Sumatera yang notabene berfungsi sebagai salah satu pembuluh nadi transportasi negara ini saja, pemerintah hanya berkomentar, “Akses untuk ke sana sulit. Perbaikan jalan sepanjang itu dalam waktu dekat adalah hal yang sangat tidak mungkin..”

Namun demikian, ketika pemerintah mencanangkan rencana pembukaan lahan sawit, dengan alasan ‘mulia’ itu, yang pertama terlintas dalam kepala saya adalah: “Astaghfirullah... habislah hutan kita!” Apalagi dengan pemberitaan-pemberitaan yang sempat marak (bagi yang memperhatikan) mengenai tidak beroperasinya perkebunan sawit yang dijanjikan setelah hutan dibuka dan seluruh kayunya dijual, entah ke mana.

Hutan habis berarti habitat ratusan jenis hewan dan tumbuhan lain ikut hilang dalam pembersihan hutan. Untuk kasus di perbatasan Kalimantan-Serawak ini, 143 jenis mamalia, 293 jenis burung, 27 jenis reptil dan 240 jenis ikan[ii], hanya di kawasan Kalimantan Barat, terancam hilang juga. Terlalu egois satu jenis makhluk bernama Homo sapiens dalam memenuhi keserakahannya.

Belum lagi kalau kasusnya berujung pada konflik antara hewan-hewan tersebut –umumnya jenis mamalia besar dan langka seperti harimau, gajah atau orangutan yang kelaparan sehingga mencari makan di sekitar permukiman- dengan masyarakat. Untuk kasus ini, biasanya masyarakat tidak punya pilihan lain selain mengusir, bahkan membunuh hewan tersebut karena mengancam keselamatan mereka.

Sekarang pertanyaannya: apakah dengan demikian masyarakat di perbatasan bisa sejahtera? Mungkin iya, kalau uang hasil penjualan kayu dari pembersihan lahan itu larinya ke masyarakat. Tapi sekali lagi, kayu-kayu itu dijual entah ke mana. Karena itu, uangnya juga larinya entah ke mana.

Atau.. mungkin masyarakat bisa sejahtera dengan beralih profesi dari memburu, mengumpulkan makanan serta meladang, menjadi buruh kebun sawit? Kalau dikatakan ya, mungkin pemerintah atau penentu kebijakan itu perlu belajar berhitung lagi mengenai berapa upah yang diterima oleh masing-masing buruh, dan berapa pengeluaran yang mereka perlukan untuk makan. Sebelum hutan ditebang habis, masyarakat masih bisa memenuhi kebutuhan pangan mereka dari hutan atau ladang. Namun setelah hutan habis, dan lahan berladang mereka terpaksa harus berubah wujud juga menjadi kebun sawit, mereka harus bergantung pada mekanisme pasar yang semakin membuat mereka masuk dalam senarai masyarakat miskin. Sejahtera??

Tak perlu dijelaskan di sini jika setiap ketidakseimbangan dalam alam, sunnatullahnya akan mengarah pada bencana yang pada akhirnya akan menimpa manusia sendiri. Dan yang paling sengsara merasakan bencana akibat hilangnya hutan umumnya masyarakat yang tinggal di dekat hutan yang hilang itu. Sekali lagi, sejahtera??

Sekarang, saya harap ‘umpatan’ saya bisa diterima. Jangankan untuk jadi khalifah yang menjaga seluruh isi bumi. Untuk melindungi jenis kita sendiri pun ternyata kita tidak mampu. Yang saya pahami, status khalifah bukan hak; tapi kewajiban. Karena kalau benar jadi hak, “We really don’t deserve this planet!”


Wallahu a’lam bisshowab



[i] Cerita mengenai betapa miskin dan betapa tidak pedulinya pemerintah terhadap kemiskinan masyarakat yang tinggal di perbatasan dicentang-perenangkan dengan sangat lugas oleh Kompas dalam edisi istimewa 60 tahun Indonesia merdeka; 16 Agustus 2005.

[ii] Jeanes, K., E. Meijaard. 2000. Danau Sentarum’s Wildlife Part 1. Biodiversity Value and Global Importance of Danau Sentarum’s Wildlife. Borneo Research Bulletin Vol 31:150-229

Friday, June 16, 2006

Cinta Indonesia??

Belakangan ini, tepatnya setelah hari Minggu (11 Juni 2006) kemarin menghabiskan seharian bantuin jadi juri seleksi calon siswa pertukaran pelajar Bina Antarbudaya (alias AFS, bahasa ngetrennya mah..) di Bandung, saya sering memikirkan tentang cinta Indonesia. Pasalnya, saat seleksi itu ada kejadian yang menurut para juri sangat disayangkan. Entah kenapa, siswa-siswa SMU kelas 1 yang ikut seleksi kali ini - menurut penilaian para juri yang sebagian besar mantan siswa AFS - lebih 'tidak masuk kualifikasi' dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kualifikasi yang diinginkan sebenarnya sederhana. Kami mencari siswa kelas 1 SMU yang sedikit banyak (hayoo.. sedikit atau banyak??) dapat:
  • mengetahui kelebihan dan kekurangan pribadinya,
  • punya visi dan cita-cita yang jelas (setidaknya bagi dirinya sendiri),
  • punya keinginan besar untuk mewujudkan visi dan cita-citanya tersebut dengan modal kelebihan dan kekurangan yang dia miliki
  • punya nilai-nilai yang dipegang teguh namun tetap menghargai nilai-nilai yang dipegang orang lain dan dapat mengkomunikasikan nilai-nilai tersebut kepada orang lain dengan luwes
  • memiliki rasa dan sikap kebangsaan yang baik
Ya... walaupun tidak 100% sama dengan kualifikasi yang diberikan oleh pihak AFS pusat (yang ada di New York sana..), setidaknya kriteria itu yang saya pasang di kepala saat mewawancarai siswa-siswi yang lucu-lucu itu. Karena menurut pengalaman saya, untuk bertahan di negeri orang, selama setahun, jauh dari keluarga, tanpa kerabat, dalam usia yang sebegitu muda (siswa yang diberangkatkan rata-rata berusia 16-17 tahun; dulu saya berangkat di usia 16), hal-hal itu yang dibutuhkan untuk tetap sintas (gak tau arti sintas? sintas = survive. Nah.. kalau sekarang udah tau, sering-sering digunakan yah!! ;) ).

Poin terakhir yang nampaknya semakin susah dicari. Memiliki rasa dan sikap kebangsaan yang baik... Untuk menemukan bagaimana pandangan siswa terhadap negara dan bangsa Indonesia tercintah ini, saya cukup mengajukan pertanyaan, "Menurut kamu, Indonesia sekarang tuh gimana sih?" Sebagian besar menjawab, "Haduh.. Indonesia kacau banget dehh.. Ancur.. banyak korupsi, kriminal, gak teratur.." Dalam hati, saya mengiyakan jawaban mereka. Indonesia memang sangat kacau. Sangat berantakan. Sangat terhina-dina karena banyak sekali bukti yang mengarah pada pernyataan itu.

Lalu, di mana bagusnya Indonesia sampai seseorang, setidaknya Bangsa Indonesia yang berkewarganegaraan Indonesia sendiri bisa cinta dengan negara ini?? Hhmm... saya juga masih mencari...

Sepulangnya dari Bandung, Senin pagi, saya langsung berangkat ke kantor. Dari Bandung naik travel dan dijemputnya jam 4 pagi, makanya lebih memilih untuk pakai kerudung langsung yang notabene lebih kasual (baca = tidak cocok digunakan di kantor, kecuali pada acara olahraga bersama). Saya bekerja di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional, CIFOR. Banyak orang asing bekerja di sana. Begitu sampai di kantor, saya langsung menuju toilet untuk mengganti kerudung. Di situ ada seorang perempuan yang wajahnya agak asing. Sepertinya orang baru.
"Nice!" katanya, saat melihat saya menyampirkan kerudung saya. Awalnya saya pikir dia seorang Indonesia, karena wajahnya sangat Jawa. Ternyata ia seorang Philipino.
"Thank you :)" jawab saya sambil tersenyum.
Kemudian dia nyerocos, "I really like your country. Very nice!"
Saya mengernyit. "What part of my country that you like?"
"Everything... Jakarta! I love Jakarta! It's very nice compare to Manila!"
Saya tambah mengernyit. "Really?!! I thought Jakarta is the worst city in the world!"
"No! Believe me, it's much better than Manila! Well, nice to see you!" kemudian dia pun keluar dari toilet, meninggalkan saya yang masih mengernyit.

Masuk ke ruangan, masih dengan pikiran bingung. Kaget dan terharu ada yang mengatakan Indonesia bagus, bahkan lebih bagus dari negaranya. Tiba-tiba saya merasa jadi seperti pengkhianat bangsa karena kurang setuju dengan pernyataan perempuan Philipino tadi.

Saya buka Yahoo! Messenger. Seorang senior masa kuliah dulu sedang online dan menyapa saya. Dia menanyakan apa yang saya kerjakan, terkait dengan pekerjaan saya di lembaga ini.
"Lagi cari data spesies endemik atau yang dilindungi di kawasan Sentarum, Kalbar. Pusying euy" tulis saya di jendela messaging itu.
"Huh.. Indonesia mestinya punya basis data kehati (= keanekaragaman hayati, red). Itulah yang terjadi kalau kehati diurus sama orang kehutanan," begitu komentarnya.
"Lha? Memangnya harusnya gimana?"
"Harusnya kehati itu dikerjakan multidisipliner. Ada biologi, geologi, antropologi, sosial, hukum.."
"Iya yah.. di Indonesia kayaknya belum ada lembaga penelitian yang multidisipliner begitu menyangkut kehati.. Yang banyak justru lembaga penelitian asing, atau internasional, kayak tempatku kerja sekarang"
"Nahh.. gak tau deh apa maunya Indonesia.."
Duh.. lagi-lagi komentar tentang kebobrokan Indonesia. Terusan diskusi itu, saya juga menuliskan bahwa saya pribadi sangat membenci negara ini dalam kaitannya sebagai negara. Tapi, sebagai tanah air, cinta mati dahh.. Indonesia masih punya nilai-nilai luhur yang baik kok.. Cuma sayangnya pemerintah dan segala tetek bengek birokrasinya saja yang membuat negara ini terus-menerus terhina-dina (tanya ken..napa).

Malamnya, setengah mengantuk saya menonton Om Farhan di ANTV yang saat itu sedang membicarakan perfileman nasional. Lagi-lagi Indonesia diperbandingkan. Ketika iklan, saya rubah channelnya ke Piala Dunia. Pertandingan belum mulai, masing-masing tim masih berjejer di tengah lapangan sambil diperdengarkan lagu kebangsaan. Dalam kepala saya kala itu berpikir, bangga sekali kalau lagu Indonesia Raya diperdengarkan di situ. Kemudian saya mulai bernyanyi sendiri,
Indonesia, tanah airku, tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku
(??)
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita menyeru
(??) Indonesia bersatu
Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
bangsaku, rakyatku semuanya..
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya merdeka.. merdeka
Tanahku negeriku yang kucinta
(??)
Indonesia Raya merdeka.. merdeka

Hiduplah Indonesia Raya..

Tanda tanya (??) di atas, maksudnya saya tidak begitu yakin apakah liriknya benar begitu atau tidak.. Duhh.. Saya jadi malu sendiri. Cinta Indonesiakah saya?